". . .Selamat Datang di Portal Blog kami, silahkan menikmati untuk sekedar mampir atau membaca tulisan sederhana ini. . ."

Laman

Saturday 7 April 2012

Modal Petani Kemana dan Dimana?

Persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian adalah akses permodalan pada lembaga keuangan formal bagi petani. Selama ini petani sangat erat hubungannya dengan rentenir atau sumber keuangan non formal yang dengan mudahnya mendapatkan dana namun disertai bunga yang tinggi. Bukan hanya sumber keuangan formal yang memiliki bunga yang tinggi, lembaga keuangan formal pun menetapkan standar suku bunga yang cukup tinggi. Untuk mendapatkan akses modal bagi petani sangatlah sulit, mengingat pertanian merupakan sektor dengan tingkat “ketidakpastian” dan resiko yang tinggi dikarenakan output yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh iklim. Selain itu juga petani di hadapkan pada persoalan bentuk agunan yang kurang mempunyai nilai bagi perbankan. Minimnya modal akan berimplikasi besar bagi perkembangan skala usaha tani dan juga dari sisi produktivitasnya. Kemampuan petani untuk membiayai usahataninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Maka perlu perhatian khusus terkait dengan modal dan pembiayaan bagi petani.

Sektor petanian dijadikan sebagai pilar revormasi sebagai penopang sektor lain untuk meningkatkan perekonomian negara. Pada tahun 2011 pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mengalokasikan anggaran untuk sektor pertanian sebesar Rp. 16 triliun atau kurang lebih sekitar dua persen dari total APBN yakni sebesar Rp. 1.200 triliun. Alokasi ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar Rp 4,02 trilyun di tahun 2005, kemudian meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 8,17 trilyun di tahun 2009. Walaupun demikian rupanya pembiayaan sektor ini masih diperketat dengan akses dan minimnya pemenuhan kebutuhan pertanian secara keseluruhan.
Sebesar Rp. 220 triliun kebutuhan sektor pertanian di setiap tahunnya. Total kebutuhan tersebut sebagian besar (85-93 persen) bersumber dari pembiayaan swasta, perbankan dan masyarakat. Sebagian kecil (sekitar 7-15 persen) anggaran tersebut disediakan oleh pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Standarnya pembiayaan sektor pertanian minimal sebesar 15 persen dari total APBN. Angka tersebut akan mendukung semua kebutuhan di sektor ini mulai dari hulu samapai hilir. Implikasinya akan sangat besar untuk kemajuan pertanian, gairah petani untuk mengembangkan skala usahataninya, kemudahan petani dalam memperoleh modal, pembenahan infrastruktur serta subsidi merupakan sebagian kecil implikasinya.
Saat ini petani belum memiliki kemampuan untuk mengakses sumber permodalan dari lembaga keuangan formal, diantaranya diakibatkan oleh sulitnya prosedur pengajuan kredit dan ketiadaan agunan yang dipersyaratkan oleh petani. Fasilitas pemberdayaan permodalan yang ada digunakan untuk mempermudah petani untuk memperoleh modal mulai dari Bantuan Langsung Masyarakat - Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan sebagainya. Disini perlu catatan penting bahwasanya sosilaisasi dan sasaran dari fasilitas ini harus jelas agar pelaku usaha tani dapat dengan mudah mengakses fasilitas tersebut. Banyaknya fasilitas ini bukan berarti petani akan sejahtera, perlu pengkertitisan dari sasaran fasilitas ini. Contohnya pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) dimana sektor pertanian paling minim dalam penyerapan modal. BAPPENAS mengatakan bahwa tercatat penyerapan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) sekitar 80 persen disalurkan untuk usaha perdagangan dan sisanya untuk pertanian, dan sebagainya. Walaupun Kredit Usaha Rakyat (KUR) ini dapat diakses oleh semua sektor namun peluang ini tidak boleh disia-siakan. Selain itu juga kebanyakan pembiayaan masih terfokus pada sektor hilir sehingga sektor hulu yang menjadi penopang masih belum begitu berkembang.
Pembiayaan juga perlu menyentuh semua lini mulai dari proses usaha tani sampai kepada infrastuktur. Misalnya irigasi, yang pada tahun 2010 sekitar 19,81 juta hektare luas lahan pertanian yang ada baru sekitar 36,3 persen yang teririgasi. Kemudian infrastruktur jalan-jalan yang akan memudahkan akses dalam pendistribusian barang dan juga penyediaan alat dan mesin pertanian untuk mendukung proses usaha tani. Selain itu kecilnya skala penguasaan lahan masyarakat petani mengakibatkan petani tidak mampu untuk melakukan pemupukan modal melalui tabungan atau investasi.
Pembangunan sektor ini secara keseluruhan tidak akan lepas dari sektor lainnya. Perlu adanya sinergisasi dengan lembaga-lembaga pendukung lainnya. Untuk mengatasi keterbatasan modal dan kapasitas yang dimiliki petani setidaknya menjadi hal prioritas utama. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah (1) Membuka akses seluas-luasnya bagi petani dengan bantuan untuk penguatan modal serta pengembangan kelembagaan petani, (2) koordinasi dan sinergisasi baik ditingkat kebijakan maupun lapangan dilakukan secara berkala, (3) sosialisasi yang berkaitan dengan pendanaan bagi petani diintensifkan, (4) merangsang petani untuk memperluas cakupan usaha taninya yang semula hanya terbatas pada budidaya berkemang menjadi usaha pascapanen, pengolahan hasil serta wilayah pemasaran, dan (5) mengembangkan serta mengokohkan kelembagaan petani mulai dari kelompok tani, gapoktan, hingga pada tingkatan koperasi sebagai mitra dan fasilitator yang bersifat formal maupun non formal untuk mempermudah pembiayaan yang dibutuhkan usaha kecil dan menengah yang berbasis usaha produksi dan pengolahan hasil.
Pada akhirnya permasalahan permodalan bagi petani menjadi prioritas utama jika kita menginginkan kemajuan pertanian di negara ini. Solusi yang efektif jika akses permodalan bagi petani terbuka lebar untuk mengembangkan usahanya. Dengan begitu diharapkan mampu menjadi jalan untuk mengatasi masalah permodalan bagi petani yang semakin diperketat oleh kondisi global. Tidak terlepas permasalahan modal saja namun pemberdayaan kelembagaan petani serta pelaku usaha tani itu sendiri yang akan menjadi basis terkuat dalam kemajuan sektor ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari 31,02 juta jiwa rakyat miskin (2010), 19,93 juta jiwa atau 64% tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari masyarakat Indonesia bekerja sebagai petani. Oleh karena itu kemajuan sektor pertanian adalah mutlak untuk mensejahterakan masyarakat kita. Sinergisasi dan dukungan dari semua stakeholder serta pemerintah sangat diperlukan sehingga segala kepentingan yang hanya menjadikan pertanian ini sebagai komoditas politik semata akan mudah diruntuhkan.

No comments:

Post a Comment